Dunia tasawuf mengenal banyak cerita sufi. Sebahagian
dari cerita itu termuat dalam kitab Tadzkiratul Awliya, Kenangan Para Wali,
yang ditulis oleh Fariduddin Attar. Buku ini ditulis dalam bahasa Persia,
meskipun judulnya ditulis dalam bahasa Arab. Selain bererti kenangan atau
ingatan, kata tadzkirah dalam bahasa Arab juga bererti pelajaran. Sehingga
Tadzkiratul Awliya bererti pelajaran yang diberikan oleh para wali.
Attar mengumpulkan kisah para wali; mulai dari Hasan
Al-Bashri, sufi pertama, sampai Bayazid Al-Busthami. Dari Rabiah Al-Adawiah
sampai Dzunnun Al-Mishri. Selain buku ini, Attar juga menulis buku cerita sufi
berjudul Manthiquth Thayr, Musyawarah Para Burung. Berbeza dengan kitab pertama
yang berisi cerita para tokoh sufi, kitab ini berbentuk novel dan puisi sufi.
Sebahagian besar ceritanya bersifat metaforis.
Fariduddin dijuluki Attar (penjual wewangian), kerana
sebelum menjadi sufi ia memiliki hampir semua toko ubat di Mashhad, Iran.
Dahulu, orang yang menjadi ahli farmasi juga sekaligus menjadi penjual
wewangian. Sebagai pemilik toko farmasi, Attar terkenal kaya raya.
Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Lelaki itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan bila kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap lelaki tua itu, "saksikan di hadapanmu bahawa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti lelaki tua itu; mengetahui bila ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as, di Khurasan, Iran. Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita menarik.
Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Lelaki itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan bila kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap lelaki tua itu, "saksikan di hadapanmu bahawa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti lelaki tua itu; mengetahui bila ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as, di Khurasan, Iran. Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita menarik.
Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam
kebudayaan Persia. Jalaluddin Rumi mengajarkan tasawuf melalui cerita dalam
kitabnya Matsnawi-e Ma'nawi. Penyair sufi Persia yang lain, Sa'di, juga menulis
Gulistan, Taman Mawar, yang berisi cerita-cerita penuh pelajaran. Demikian pula
Hafizh dan beberapa penyair lain. Tradisi bertutur menjadi salah satu pokok
kebudayaan Persia.
Kebudayaan Islam Indonesia juga mengenal tradisi
bercerita. Islam yang pertama datang ke nusantara adalah Islam yang dibawa oleh
orang-orang Persia lewat jalur perdagangan sehingga metode penyebaran Islam
juga dilakukan dengan bercerita. Mereka menggunakan wayang sebagai media
pengajaran Islam.
Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan
mengapa ia menulis buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama,
tulis Attar, kerana Al-Quran pun mengajar dengan cerita. Surat Yusuf, misalnya,
lebih dari sembilan puluh peratus isinya, merupakan cerita.
Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita
dengan cerita: Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang
dahsyat, yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dari surat
Al-Kahfi bercerita tentang para pemuda yang mempertahankan imannya: Ingatlah
ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka
berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini. (QS.
Al-Kahfi; 10) Surat ini dilanjutkan dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi
Khidhir, diteruskan dengan riwayat Zulkarnain, dan diakhiri oleh cerita
Rasulullah saw.
Demikian pula surat sesudah Al-Kahfi, yaitu surat
Maryam, yang penuh berisi cerita; Dan kenanglah kisah Maryam dalam Al-Quran.
Ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke satu tempat di sebelah timur.
(QS. Maryam; 16) Al-Quran memakai kata udzkur yang selain bererti
"ingatlah" atau "kenanglah" juga bererti "ambillah
pelajaran." Attar mengikuti contoh Al-Quran dengan menamakan kitabnya
Tadzkiratul Awliya.
Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan,
tulis Attar, adalah kerana Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan
menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita. Sebuah
hadis menyebutkan bahawa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat
dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, kerana kehadiran mereka,
Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat
bertanya, "Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka
mencapai derajat itu?" Nabi yang mulia menjawab, "Mereka sampai ke
tingkat yang tinggi itu bukan kerana rajinnya mereka ibadat. Mereka memperoleh
kedudukan itu kerana dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka
pada sesama manusia."
Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang
yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk
yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada
seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahawa kehadiran para wali akan
memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun
kehadiran secara rohaniah.
Dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan
dalil dianjurkannya menghadirkan orang-orang soleh untuk memberkati tempat
tinggal kita. Ia meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah
saw untuk jamuan makan. Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu
untuk menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu
mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian solat dua rakaat di rumah
itu meskipun bukan pada waktu solat.
Menurut Imam Nawawi, solat Nabi itu adalah solat untuk
memberkati rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, "Inilah keterangan
tentang mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang soleh." Sayangnya,
tulis Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit berjumpa
dengan orang-orang soleh secara jasmaniah. Kita sukar menemukan wali Allah di
tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh kerana itu, Attar
menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal dunia. Attar
memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari mereka. "Saya
hanya pengantar hidangan," lanjut Attar, "dan saya ingin ikut
menikmati hidangan ini bersama Anda. Inilah hidangan para awliya."
Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia
mengumpulkan cerita para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan
bahawa dengan menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan
pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan-akan kita menemui para wali itu di
alam rohani, kerana di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka.
Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan
pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang
ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah,
dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga
adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga
memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya
sendiri. Kerana telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang
menunjukkan kesolehannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid,
"Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya solat
setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami
pengalaman rohani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun
yang Tuan gambarkan."
Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama
tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam
hidupmu."
Murid itu hairan, "Mengapa, ya Tuan Guru?"
"Kerana kau tertutup oleh dirimu," jawab
Bayazid.
"Bisakah kau ubati aku agar hijab itu
tersingkap?" pinta sang murid.
"Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan
melakukannya."
"Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid
itu.
"Baiklah kalau begitu," kata Bayazid,
"sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang
lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang.
Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana.
Katakan pada mereka, "Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau
menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah
tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa
yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!"
"Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,"
kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, "Jika kalimat-kalimat suci itu
diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu
diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir."
Murid itu kehairanan, "Mengapa bisa begitu?"
Bayazid menjawab, "Kerana kelihatannya kau sedang
memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan:
Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan
kesucian dirimu."
"Kalau begitu," murid itu kembali meminta,
"berilah saya nasihat lain."
Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau
takkan mampu melakukannya!"
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga.
Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit
ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis.
Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap
Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita.
Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati
segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya
dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada
ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang
datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak
mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?"
Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah
kamu."
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak
beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup
sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia
menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada
perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di
tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat
yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam
setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah
saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya.
Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar
apa-apa. Para sahabat kehairanan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak
menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang
yang dibicarakan itu lewat di hadapan majlis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat
itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang
yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku
lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya."
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya,
"Bukankah kalau kamu datang di satu majlis kamu merasa bahawa kamulah
orang yang paling soleh di majlis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab,
"Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu
pergi meninggalkan majlis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para
sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?"
"Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia
kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang
ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang
itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga Abu
Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh
orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi
masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali
bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali
dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi,
ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia.
Umatku takkan pecah sepeninggalku...."
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama
di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling soleh,
paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan
di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahawa
perasaan ujub akan amal soleh yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di
tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang
lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti
yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.
Sumber : Taman Ulama
http://hikmah-sufi.blogspot.com/2011/07/hikmah-dari-kisah-waliyullah.html#.VLe474_UTAE.blogger